Translate

“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Seno Gumira Ajidarma,
Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Cari Blog Ini

Jumat, 28 Agustus 2015

Z

Sebuah percakapan dalam fragmen jendela dengan sebuah foto. Ada sepasang wanita dengan laki-laki (lelaki). Sebut saja mereka K dan Z. Mereka adalah teman sepermainan, teman sedari kecil yang mana ke mana-mana dulu selalu bersama. Sekarang mereka telah menempuh hidupnya masing-masing. Jalan hidup mereka sangat berbeda.
Sore itu, K sedang menanyakan kepada Z, "apakah dahulu pernah ada wanita yang singgah ke dalam hatinya." Dan Z berkata, ya pernah dan pasti pernah. "Apakah dia suka mengumbar janji." kataku. Ia nampak ragu dengan jawaban yang akan dilontarkannya, "ya, memang. Pertama menjalin kasih kami seperti para ketua partai yang mengobral ribuan kata untuk tetap mempertahankannya. Jadi, jika dilihat tidak terkesan jelek, dalam artian, kemarin jadian sekarang putus. Tapi, toh lama-lama akan bosan juga dnegan misinya dan pasti akan lupa. Yang diucapkan dulu itu seperti janji di atas tisu putih, yang mana apabila terkena air pastilah akan hancur, baik bahannya dan tulisannya. Jadi, hancur itu, bisa dari hubungannya dan bisa juga ucapannya. Luluh seperti tisu yang sudah menjadi lem ketika dicampur degan lem kanji.
Dia terdiam sejenak, menyulut rokok yang ada di depannya dengan  korek api. menghembuskan asapnya sehingga menjadi bulatan, dan ia kembali bercerita. "Nah, seperti lingkaran ini, ia sangat bagus dan terlihat rapi dan cantik. Ketika ia tertiup angin, buhh" Z menyebulkan nafasnya.
"Ia akan berceceran ke mana-mana. Janji kurang lebih seperti itu. Jika pasangan sudah merasa jera atau jebuh, pastilah lupa dengan semua yang ia ucapkan dahulu.

Sabtu, 20 Juni 2015

Inilah Kenapa Aku Berhenti



"Aku akan berhenti menulis." Kata Salya kepada kakaknya.
"Kenapa? kau sudah bosan atau kurang bacaan?" Jawab Kakak.
"Aku tak akan bersaing dengan temanku, aku tak bisa. Selalu saja tulisanku jelek ketika dia mendapatkan banyak pujian. Aku ingin berhenti, lelah rasanya, menjadi orang lain untuk menuturkan apa yang tidak aku alami. Aku bukan semacam Tuhan yang menitahkan beberapa petuah kepada umatnya, yang mana seperti orang-orang di luar sana, mereka menyembah, mengagungkan tulisan mereka ataupun tulisan orang lain, yang menurut mereka bagus. Dan mereka menganggap beberapa penulis adalah tukang guna-guna, yang meramal apa yang akan terjadi dikemudian hari, padahal pedoman mereka hanyalah satu, kitab dan pengetahuan, yang sebelumnya sudah dititahkan Tuhan kepada umatnya untuk menbaca kitab.
Seperti halnya sebuah tulisan, aku hanyalah sebuah lisan yang mampu mengubah pribadi seseorang menjadi anggapan nihil mengenai Maya. Dia memang wanita yang hebat, menanggalkan kalender setiap hari dan memberinya satu nama laki-laki pada setaiap tanggal yang pernah dilaluinya. Dia pernah mencinta untuk melahirkan bunga mawar pada hati seorang laki-laki keturunan sunda. Menjaganya selama tiga tahun dan membiarkan bunga itu mekar seperti merpati yang terbang dengan keelokannya. Namun, pada saat bunga tersebut tersenyum karena ada anggrek sebagai parasit, mawar itu meredup. Parasit itu lebih kuat mencekat kerongkogannya. Membuatnya pingsan yang berujung dengan maut.

Itulah beberapa sebab mengapa aku ingin berhenti menulis. Karena tulisan yang sebenarnya membuat perkara, lisan tak mampu berucap demi pembelaan. Aku ingin menutup beberapa lembar kehidupanku sejenak, meninggalkan kertas dan pensil, menggantinya dengan sebuah pot. Aku ingin membenihkan mawar perwarna putih. Mawar yang suci, sebagai wujud keikhlasan hati. Dan aku meninggalkan segala bebanku dalam menulis. Aku akan kubur beberapa kenanganku bersama seseorang. Dan tulisan ini, akhir di mana aku menulis untuk beberapa saat hingga aku mampu memberiksan saru kepada mawarku, entah itu kapan. Yang pasti, akan berjalan sangat lambat dan memakan waktu. Meski aku benci menunggu, inilah kesabaran, mawar putih yang kunanti, kuharap tetap menjadi putih, bukan menguning."

Kamis, 18 Juni 2015

MAYA


Aku pulang bekerja, menanggalkan baju dan celanaku. Menggantinya dengan yang baru, yang lebih kece menurutku. Dress warna abu-abu, seperti yang dikenakan anak mantri di televisi siang tadi. Namanya Maya, ia anak mantri yang dipuja oleh banyak lelaki kampungku. Kata mereka, Maya itu jos! Jos apanya? pandanganku berputar-putar seperti naik becak keliling kota Jogja. Dasar laki-laki, lihat badan semok sedikit lalu bergetar badannya, seakan melihat bidadari. Tidak hanya bidadari, aku yang lebih cantik dari Maya saja tidak pernah diliriknya. Aku juga tidak meminta untuk dilirik. Kesal ketika semuanya pernah meliriknya, terutama suamiku, yang mana ia dulu sempat tergila-gila akan kemolekan Maya. Katanya begini, “Maya memang seperti yang dikatakan orang, ia adalah dunia, ya dunia Maya, yang berarti ia hanya alat atau sarana pemuasan untuk para lelaki menyegarkan pikiran mereka yang bertumpuk dengan hutang.”
Setelah kuyakinkan ia tidak memuja dan berhubungan dengan Maya, aku menerimanya dengan banyak ganjalan hati. Karena aku takut, ia akan kembali memujanya ketika aku dirasa tidak sebanding dengannya. Yang aku tahu, Maya itu multitalent, ia seorang ahli farmasi yang menetap di Jawa Tengah, anak seorang mantri, dan bercita-cita mendirikan apotik dengan nama suamiku, Budi Waras. Aku berpikiran, ia pernah suka juga dengan suamiku, mungkin saat suamiku suka, ia tidak suka, seperti kata orang Jawa, karma yang akan berbalik kepadanya. Kemudian Maya tergila-gila dengan suamiku,sampai sekarang masih berharap bahwa suamiku akan sehat kembali dan mencintai dia. Anjir. Tidak, jika mana iya, aku tak tahhu aku jadi tempe bakar apa gembus sukaannya itu. Selain itu, ia adalah mantan model yang menang tingkat provinsi dalam pemilihan putri cantik. 
Kulepas dress warna abu-abu, aku tidak ingin sama dengannya, meski dress ini adalah kado pernikahan kami yang pertama. Aku memang banyak kekurangan, namun, aku juga setidaknya punya kelebihan. Merasakan getir dalam hidupku yang semakin  pahit karena asam telah tercampur dengan basa, itu kelebihannya yang berharap untuk berkurang dari waktu ke waktu. Aku menatap sebuah cermin, aku lihat polesan warna yang menyapu parasku. Tidak terlihat begitu menor, karena warnanya sudah sedikit kering. Aku tambahkan polesannya. Warna merah menyala, yang menambah karisma. Petuah dari Ibuku dulu, pakailah riasan yang setidaknya menyenangkan suamimu, setidaknya dia tidak malu membawamu ke mana-mana, agar suamimu tidak kalah dengan mantan-mantannya dulu.


Aku yang sedang menyendiri

Kehidupan memang kelam, kata seorang pemuda dengan tubuh yang tegap dan dada rata.

Ketika semuanya telah berubah menjadi sebuah diorama sebuah pertunjukan, aku dipertontonkan untuk menyenangkan hati setiap orang di sekitarku, meski aku jarang merasakan bahagia. Mereka semua, baik aku kenal maupun tidak aku kenal, namun mereka mengenalku. Sore itu, sebelum pentas kecil kegiatankuliah kami, awalnya aku hanya disuruh untuk membelikan sebuah koran dan jagung manis rebus, serta susu murni yang belum masak. Aku berjalan dengan semangat, karena peranku sebagai pembantu artistik sangatlah keren menurutku. Intinya, mendapat sebuah peran atau pekerjaan yang setidaknya dibutuhkan dalam kegiatan kelompok, aku sangatlah bangga, karena aku tidak pernah merasakan sebelumnya, setelah terakhir aku menjadi badut kuda poni dalam acara wisuda kakak kelas.
-bersambung. 

Rabu, 17 Juni 2015

Anak Kecil

"Kau pernah bermimpi?" tanya seorang anak kecil kepadaku.
"Ya. tentu. Kenapa kau menanyakannya?" jawabku.
"Karena aku ingin tahu, untuk apa kita bermimpi. Dalam mimpiku selalu indah, kenapa realitanya tidak? Aku selalu dibohongi oleh teman-teman, pacar, dan orangtuaku. Padahal dalam mimpiku mereka sangat sayang kepadaku. mengajakku ke mana-mana, hingga aku tak sadar bahwa aku nyaman bersama mereka. Dan pantaskah aku, ketika aku merasa kehilangan mereka, pada saat mereka tak ada di depanku beberapa detik untuk hidupku?
Aku sering mendapat hujatan manja dari semua orang. AKu hanya butuh kasih sayang dari mereka. Apapun untuk mereka aku lakukan untuk yang terbaik, tapi mereka selalu membohongiku. Seakan aku adalah biduk kecil yang selalu dipaka untuk mendayung, tapi mereka tidak memperhatikan hatiku ini ang sedang rapuh. Aku sedih."
"Kamu berhak merasakan sedih, untuk hal apapun ketika kamu tidak mendapatkannya. Tapi apa kamu tahu benar mereka membohongimu?"
"Ya. Tentu aku tahu. Banyak mata-mata kucing yang mampu menghampirkan pikirannya untukku. Mereka lebih menyayangiku dari apapun, terlebih orangtuaku." Jawab anak kecil itu dengan sesenggukan.
Air mata yang awalnya dibendung, mengalir dengan derasnya. Membasahi baju hijau yang dipakainya, membuat lingkaran ingus pada  jilbabnya. Hari sudah berjalan begitu pelan, seakan waktu  adalah milik anak kecil ini untuk mencurahkan perasaannya. Semilir angin membuatku bertambah dingin karena hari ini aku sedang kurang enak badan.
Percakapan itu diakhiri pukul enam sore ketika layung kuning sudah turun menjemput malam. TAk terasa dua jam aku terduduk di pinggir lembah kampus dengan tenang mendengarkan anak itu bercerita. Dia memang masih kecil, yang dituntut untuk menjadi dewasa karena ia sudah tidak punya siapa-siapa. Hanya tinggal sepucuk surat wasiat dari orangtua yang isinya  meninggalkan rumah beserta hutang yang lebih besar daripada harga rumahnya.
Aku tersentuh karena cerita anak itu, sapu tangan kupu-kupu dari ibuku, kuberikan padanya untuk mengusap sebagian laranya. Dia sangat tertekan, terlebih dengan pamannya yang setiap hari datang untuk meminta jatah. Ya, memang pamannya seorang yang kurang sehat. Ia meminta tubuh anak kecil itu untuk ditiduri, jika tidak, rumah kecil peninggalan orangtuanya itu akan menjadi saksi bahwa kucing pernah disiksa oleh majikannya. Ia tak berani lapor kepada siapapun, kepada aparat pun sudah tidak bisa. Hanya setiap hari, setiap ia berkunjung ke sekolah menengah atasnya,selalu dipanggil guru BK dan ditanyai kenapa prestasinya menurun. Banyak sekali guru dan murid yang mau membantunya, bahkan salah satu gurunya, yang divonis mandul itu mau mengadopsinya. Namun, apa boleh buat, badan yang sudah kotor karena perbuatan seseorang menghantarkan rasa malu dan penyesalan saja jika ia bertemu banyak orang yang menyayanginya.

Selasa, 19 Mei 2015

Semoga, aku mampu membahagiakanmu, meski aku tidak tahu cara untuk bahagia.

Sabtu, 09 Mei 2015

Bunga Malam ini

Hari ini semua hitam. Pakaian, aksesoris, polesan wajah, hingga muka yang hampit menghitam. Tenda biru dipasang dan ujung jalan, terpampang bendera putih kecil diikat dengan pembatas jalan. Kami sedang berduka. Aroma mawar dan kembang kantil tercium hingga ke desa tetangga. Siapakah yang meninggal? Apakah dia orang yang spesial.
*
Bedug adzan subuh mulai ditabuh. Kokok ayam bersahutan, rindang pohon bergemerisik. Sapi dan kambing terdiam melongok ke arah rumah itu. Mereka turut berbela sungkawa atas kepergian seorang demonstran.
Gemelayut adzan seakan menjadi iring-iringan rombongan mobil mini bus, mengantarkan seorang jenazah yang sudah terbungkus dengan kain kafan putih. Katanya, dia mati di pertigaan UIN Jogja. Meski aku tidak tahu mana tempatnya, pastilah ia yang meninggal karena demo penurunan harga kebutuhan pokok. Biasanya tidak sericuh demo di depan kantor Gubernur Jakarta. Mengapa ini hingga meninggalkan korban? aneh.
Aku yang sedari tadi mematung di depan rumahku, melihat iring-iringan orang membawa bunga kematian itu. Bersama lintingan kertas dan tembakau, aku sulut dengan api dan asap berhembus. Asap rokok menjadi kabut yang menyelimuti keadaan bela sungkawa.
Orang-orang berbondong-bondong memasang tenda di depan rumah, memindahkan perkakas milik RT ke rumah si jenazah. Biasanya untuk persiapan memasak para Ibu-ibu yang bersuka cita. Ibu-ibu tak pernah bersedih ketika di dapur, meski ada diantara mereka adalah keluarga korban, namun pasti ia akan tertawa di dapur.Sama halnya Bapak-bapak yang menggenggam rokok dan menaburkan benih-benih guyonan.