"Kau pernah bermimpi?" tanya seorang anak kecil kepadaku.
"Ya. tentu. Kenapa kau menanyakannya?" jawabku.
"Karena aku ingin tahu, untuk apa kita bermimpi. Dalam mimpiku selalu indah, kenapa realitanya tidak? Aku selalu dibohongi oleh teman-teman, pacar, dan orangtuaku. Padahal dalam mimpiku mereka sangat sayang kepadaku. mengajakku ke mana-mana, hingga aku tak sadar bahwa aku nyaman bersama mereka. Dan pantaskah aku, ketika aku merasa kehilangan mereka, pada saat mereka tak ada di depanku beberapa detik untuk hidupku?
Aku sering mendapat hujatan manja dari semua orang. AKu hanya butuh kasih sayang dari mereka. Apapun untuk mereka aku lakukan untuk yang terbaik, tapi mereka selalu membohongiku. Seakan aku adalah biduk kecil yang selalu dipaka untuk mendayung, tapi mereka tidak memperhatikan hatiku ini ang sedang rapuh. Aku sedih."
"Kamu berhak merasakan sedih, untuk hal apapun ketika kamu tidak mendapatkannya. Tapi apa kamu tahu benar mereka membohongimu?"
"Ya. Tentu aku tahu. Banyak mata-mata kucing yang mampu menghampirkan pikirannya untukku. Mereka lebih menyayangiku dari apapun, terlebih orangtuaku." Jawab anak kecil itu dengan sesenggukan.
Air mata yang awalnya dibendung, mengalir dengan derasnya. Membasahi baju hijau yang dipakainya, membuat lingkaran ingus pada jilbabnya. Hari sudah berjalan begitu pelan, seakan waktu adalah milik anak kecil ini untuk mencurahkan perasaannya. Semilir angin membuatku bertambah dingin karena hari ini aku sedang kurang enak badan.
Percakapan itu diakhiri pukul enam sore ketika layung kuning sudah turun menjemput malam. TAk terasa dua jam aku terduduk di pinggir lembah kampus dengan tenang mendengarkan anak itu bercerita. Dia memang masih kecil, yang dituntut untuk menjadi dewasa karena ia sudah tidak punya siapa-siapa. Hanya tinggal sepucuk surat wasiat dari orangtua yang isinya meninggalkan rumah beserta hutang yang lebih besar daripada harga rumahnya.
Aku tersentuh karena cerita anak itu, sapu tangan kupu-kupu dari ibuku, kuberikan padanya untuk mengusap sebagian laranya. Dia sangat tertekan, terlebih dengan pamannya yang setiap hari datang untuk meminta jatah. Ya, memang pamannya seorang yang kurang sehat. Ia meminta tubuh anak kecil itu untuk ditiduri, jika tidak, rumah kecil peninggalan orangtuanya itu akan menjadi saksi bahwa kucing pernah disiksa oleh majikannya. Ia tak berani lapor kepada siapapun, kepada aparat pun sudah tidak bisa. Hanya setiap hari, setiap ia berkunjung ke sekolah menengah atasnya,selalu dipanggil guru BK dan ditanyai kenapa prestasinya menurun. Banyak sekali guru dan murid yang mau membantunya, bahkan salah satu gurunya, yang divonis mandul itu mau mengadopsinya. Namun, apa boleh buat, badan yang sudah kotor karena perbuatan seseorang menghantarkan rasa malu dan penyesalan saja jika ia bertemu banyak orang yang menyayanginya.
"Ya. tentu. Kenapa kau menanyakannya?" jawabku.
"Karena aku ingin tahu, untuk apa kita bermimpi. Dalam mimpiku selalu indah, kenapa realitanya tidak? Aku selalu dibohongi oleh teman-teman, pacar, dan orangtuaku. Padahal dalam mimpiku mereka sangat sayang kepadaku. mengajakku ke mana-mana, hingga aku tak sadar bahwa aku nyaman bersama mereka. Dan pantaskah aku, ketika aku merasa kehilangan mereka, pada saat mereka tak ada di depanku beberapa detik untuk hidupku?
Aku sering mendapat hujatan manja dari semua orang. AKu hanya butuh kasih sayang dari mereka. Apapun untuk mereka aku lakukan untuk yang terbaik, tapi mereka selalu membohongiku. Seakan aku adalah biduk kecil yang selalu dipaka untuk mendayung, tapi mereka tidak memperhatikan hatiku ini ang sedang rapuh. Aku sedih."
"Kamu berhak merasakan sedih, untuk hal apapun ketika kamu tidak mendapatkannya. Tapi apa kamu tahu benar mereka membohongimu?"
"Ya. Tentu aku tahu. Banyak mata-mata kucing yang mampu menghampirkan pikirannya untukku. Mereka lebih menyayangiku dari apapun, terlebih orangtuaku." Jawab anak kecil itu dengan sesenggukan.
Air mata yang awalnya dibendung, mengalir dengan derasnya. Membasahi baju hijau yang dipakainya, membuat lingkaran ingus pada jilbabnya. Hari sudah berjalan begitu pelan, seakan waktu adalah milik anak kecil ini untuk mencurahkan perasaannya. Semilir angin membuatku bertambah dingin karena hari ini aku sedang kurang enak badan.
Percakapan itu diakhiri pukul enam sore ketika layung kuning sudah turun menjemput malam. TAk terasa dua jam aku terduduk di pinggir lembah kampus dengan tenang mendengarkan anak itu bercerita. Dia memang masih kecil, yang dituntut untuk menjadi dewasa karena ia sudah tidak punya siapa-siapa. Hanya tinggal sepucuk surat wasiat dari orangtua yang isinya meninggalkan rumah beserta hutang yang lebih besar daripada harga rumahnya.
Aku tersentuh karena cerita anak itu, sapu tangan kupu-kupu dari ibuku, kuberikan padanya untuk mengusap sebagian laranya. Dia sangat tertekan, terlebih dengan pamannya yang setiap hari datang untuk meminta jatah. Ya, memang pamannya seorang yang kurang sehat. Ia meminta tubuh anak kecil itu untuk ditiduri, jika tidak, rumah kecil peninggalan orangtuanya itu akan menjadi saksi bahwa kucing pernah disiksa oleh majikannya. Ia tak berani lapor kepada siapapun, kepada aparat pun sudah tidak bisa. Hanya setiap hari, setiap ia berkunjung ke sekolah menengah atasnya,selalu dipanggil guru BK dan ditanyai kenapa prestasinya menurun. Banyak sekali guru dan murid yang mau membantunya, bahkan salah satu gurunya, yang divonis mandul itu mau mengadopsinya. Namun, apa boleh buat, badan yang sudah kotor karena perbuatan seseorang menghantarkan rasa malu dan penyesalan saja jika ia bertemu banyak orang yang menyayanginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar