Translate

“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Seno Gumira Ajidarma,
Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Mei 2015

Bunga Malam ini

Hari ini semua hitam. Pakaian, aksesoris, polesan wajah, hingga muka yang hampit menghitam. Tenda biru dipasang dan ujung jalan, terpampang bendera putih kecil diikat dengan pembatas jalan. Kami sedang berduka. Aroma mawar dan kembang kantil tercium hingga ke desa tetangga. Siapakah yang meninggal? Apakah dia orang yang spesial.
*
Bedug adzan subuh mulai ditabuh. Kokok ayam bersahutan, rindang pohon bergemerisik. Sapi dan kambing terdiam melongok ke arah rumah itu. Mereka turut berbela sungkawa atas kepergian seorang demonstran.
Gemelayut adzan seakan menjadi iring-iringan rombongan mobil mini bus, mengantarkan seorang jenazah yang sudah terbungkus dengan kain kafan putih. Katanya, dia mati di pertigaan UIN Jogja. Meski aku tidak tahu mana tempatnya, pastilah ia yang meninggal karena demo penurunan harga kebutuhan pokok. Biasanya tidak sericuh demo di depan kantor Gubernur Jakarta. Mengapa ini hingga meninggalkan korban? aneh.
Aku yang sedari tadi mematung di depan rumahku, melihat iring-iringan orang membawa bunga kematian itu. Bersama lintingan kertas dan tembakau, aku sulut dengan api dan asap berhembus. Asap rokok menjadi kabut yang menyelimuti keadaan bela sungkawa.
Orang-orang berbondong-bondong memasang tenda di depan rumah, memindahkan perkakas milik RT ke rumah si jenazah. Biasanya untuk persiapan memasak para Ibu-ibu yang bersuka cita. Ibu-ibu tak pernah bersedih ketika di dapur, meski ada diantara mereka adalah keluarga korban, namun pasti ia akan tertawa di dapur.Sama halnya Bapak-bapak yang menggenggam rokok dan menaburkan benih-benih guyonan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar