Aku
pulang bekerja, menanggalkan baju dan celanaku. Menggantinya dengan yang baru,
yang lebih kece menurutku. Dress warna abu-abu, seperti yang dikenakan anak
mantri di televisi siang tadi. Namanya Maya, ia anak mantri yang dipuja oleh
banyak lelaki kampungku. Kata mereka, Maya itu jos! Jos apanya? pandanganku berputar-putar
seperti naik becak keliling kota Jogja. Dasar laki-laki, lihat badan semok
sedikit lalu bergetar badannya, seakan melihat bidadari. Tidak hanya bidadari,
aku yang lebih cantik dari Maya saja tidak pernah diliriknya. Aku juga tidak
meminta untuk dilirik. Kesal ketika semuanya pernah meliriknya, terutama suamiku,
yang mana ia dulu sempat tergila-gila akan kemolekan Maya. Katanya begini, “Maya
memang seperti yang dikatakan orang, ia adalah dunia, ya dunia Maya, yang
berarti ia hanya alat atau sarana pemuasan untuk para lelaki menyegarkan
pikiran mereka yang bertumpuk dengan hutang.”
Setelah
kuyakinkan ia tidak memuja dan berhubungan dengan Maya, aku menerimanya dengan
banyak ganjalan hati. Karena aku takut, ia akan kembali memujanya ketika aku
dirasa tidak sebanding dengannya. Yang aku tahu, Maya itu multitalent, ia seorang ahli farmasi yang menetap di
Jawa Tengah, anak seorang mantri, dan bercita-cita mendirikan apotik dengan
nama suamiku, Budi Waras. Aku berpikiran, ia pernah suka juga dengan suamiku,
mungkin saat suamiku suka, ia tidak suka, seperti kata orang Jawa, karma yang
akan berbalik kepadanya. Kemudian Maya tergila-gila dengan suamiku,sampai sekarang
masih berharap bahwa suamiku akan sehat kembali dan mencintai dia. Anjir.
Tidak, jika mana iya, aku tak tahhu aku jadi tempe bakar apa gembus sukaannya
itu. Selain itu, ia adalah mantan model yang menang tingkat provinsi dalam
pemilihan putri cantik.
Kulepas
dress warna abu-abu, aku tidak ingin sama dengannya, meski dress ini adalah
kado pernikahan kami yang pertama. Aku memang banyak kekurangan, namun, aku
juga setidaknya punya kelebihan. Merasakan getir dalam hidupku yang semakin pahit karena asam telah tercampur dengan
basa, itu kelebihannya yang berharap untuk berkurang dari waktu ke waktu. Aku
menatap sebuah cermin, aku lihat polesan warna yang menyapu parasku. Tidak
terlihat begitu menor, karena warnanya sudah sedikit kering. Aku tambahkan
polesannya. Warna merah menyala, yang menambah karisma. Petuah dari Ibuku dulu,
pakailah riasan yang setidaknya menyenangkan suamimu, setidaknya dia tidak malu
membawamu ke mana-mana, agar suamimu tidak kalah dengan mantan-mantannya dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar