Translate

“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Seno Gumira Ajidarma,
Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Cari Blog Ini

Kamis, 18 Juni 2015

MAYA


Aku pulang bekerja, menanggalkan baju dan celanaku. Menggantinya dengan yang baru, yang lebih kece menurutku. Dress warna abu-abu, seperti yang dikenakan anak mantri di televisi siang tadi. Namanya Maya, ia anak mantri yang dipuja oleh banyak lelaki kampungku. Kata mereka, Maya itu jos! Jos apanya? pandanganku berputar-putar seperti naik becak keliling kota Jogja. Dasar laki-laki, lihat badan semok sedikit lalu bergetar badannya, seakan melihat bidadari. Tidak hanya bidadari, aku yang lebih cantik dari Maya saja tidak pernah diliriknya. Aku juga tidak meminta untuk dilirik. Kesal ketika semuanya pernah meliriknya, terutama suamiku, yang mana ia dulu sempat tergila-gila akan kemolekan Maya. Katanya begini, “Maya memang seperti yang dikatakan orang, ia adalah dunia, ya dunia Maya, yang berarti ia hanya alat atau sarana pemuasan untuk para lelaki menyegarkan pikiran mereka yang bertumpuk dengan hutang.”
Setelah kuyakinkan ia tidak memuja dan berhubungan dengan Maya, aku menerimanya dengan banyak ganjalan hati. Karena aku takut, ia akan kembali memujanya ketika aku dirasa tidak sebanding dengannya. Yang aku tahu, Maya itu multitalent, ia seorang ahli farmasi yang menetap di Jawa Tengah, anak seorang mantri, dan bercita-cita mendirikan apotik dengan nama suamiku, Budi Waras. Aku berpikiran, ia pernah suka juga dengan suamiku, mungkin saat suamiku suka, ia tidak suka, seperti kata orang Jawa, karma yang akan berbalik kepadanya. Kemudian Maya tergila-gila dengan suamiku,sampai sekarang masih berharap bahwa suamiku akan sehat kembali dan mencintai dia. Anjir. Tidak, jika mana iya, aku tak tahhu aku jadi tempe bakar apa gembus sukaannya itu. Selain itu, ia adalah mantan model yang menang tingkat provinsi dalam pemilihan putri cantik. 
Kulepas dress warna abu-abu, aku tidak ingin sama dengannya, meski dress ini adalah kado pernikahan kami yang pertama. Aku memang banyak kekurangan, namun, aku juga setidaknya punya kelebihan. Merasakan getir dalam hidupku yang semakin  pahit karena asam telah tercampur dengan basa, itu kelebihannya yang berharap untuk berkurang dari waktu ke waktu. Aku menatap sebuah cermin, aku lihat polesan warna yang menyapu parasku. Tidak terlihat begitu menor, karena warnanya sudah sedikit kering. Aku tambahkan polesannya. Warna merah menyala, yang menambah karisma. Petuah dari Ibuku dulu, pakailah riasan yang setidaknya menyenangkan suamimu, setidaknya dia tidak malu membawamu ke mana-mana, agar suamimu tidak kalah dengan mantan-mantannya dulu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar