Translate

“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Seno Gumira Ajidarma,
Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Cari Blog Ini

Kamis, 01 Januari 2015

Tsabit

Apa kabarmu kawan?
Genap rasanya satu setengah tahun kita sama meninggalkan bangunan tua itu, yang kita sebut sekolah menengah kejuruan. Kita keluar penuh dengan rasa yang masing-masing dari kita berbeda. Rasa senang karena kita usai menempuh bangku siswa, rasa sedih ketika kita mengingat memorabilia persahabatan kita. Ingatkah engkau kawan, pertama kali aku berjumpa denganmu? sungguh, itu hal yang konyol.
Kita digariskan menempuh kelas yang sama waktu itu. Dari awal kita masuk, hingga akhir kita beranjak kaki meninggalkan sekolah. Namun, rasanya aku baru sebentar mengenalmu. Engkau, Tsalitsa Nurul Hikmah, Icha panggilanmu, panggilan siang, dan Lisa panggilan malammu.
Apakah engkau sehat?
Di mana kamu sekarang, terakhir aku berjalan di samping tempat kau bekerja, bangunan itu sudah berganti nama. Apa kamu pindah? Tak pernah engkau beri aku secuil kabar kembali setelah lama aku sok sibuk dengan kebiasaanku sekarang. Apa kamu jadi ke Jakarta.
Kawan, aku tuliskan sebuah cerita di mana kita pernah bersama.
Ingatkah engkau ketika kita jalan bersama. Masih dengan pakaian batik yang kita kenakan saat hari jumat. Ketika sekolah usai dan sama-sama memiliki rasa malas untuk pulang. Kita berjalan dengan dua kaki yang bertapak pada bus kaleng susu besar. Pergi ke sebuah tempat, berjalan-jalan tanpa menghiraukan lirikan orang-orang tentang parasmu yang menawan. Kawan, sadarkah engkau. Ketika kita berjalan-jalan, semua mata memandang. Mereka ingin bersemayam sejenak, meski engkau belum tahu mana yang baik dan mana yang berlagak sombong.
Cha, aku susah tuiskan semua tentang kita. Tapi, satu patah kata untukmu.
Saat matahari bersinar, terbayang sebuah kenangan yang tak terlupakan. Kala itu, engkau sedang termangu memandangi kertas ujianmu. Di mana, kala itu, kau tertunduk lesu. Memikirkan masalah yang berjibun datang kepadamu. Engkau diam, namun tetes air mata itu berlinang. Mengalihkan pandangan kawan-kawan kepadamu dan seraya berkata, "kamu baik-baik saja kan?" Engkau menghindar dari kerusuhan kelas, Mencari tempat sendiri dan engkau masih menitikkan air mata. Kesedihan itu terpancar membulat memeluk ragamu yang seperti lidi padi. Engkau sudah dewasa, namun engkau belum banyak pengalaman untuk menginjak lantai dansa.
Dan saat engkau pulang, kau berjalan dengan buram. Pandanganmu kabur dan tertunduk kembali wajahmu. Mengecewakan mereka yang ingin melihat parasmu. Engkau masuk dalam kaleng susu besar yang bertuliskan jalur bus 15. Headset engkau cantelkan dan suara kau keraskan, sembari cokelat pada tanganmu habis kau makan. Perlahan-lahan hingga kau tertidur hampir satu jam.
Kau terbangun, matamu melalak ke jalanan. Kau tidak tersesat Icha. Rumahmu hampir sampai. Melintasi sebuah Pondok terbesar di Jogja, menuju rumah bernomor 212. Di depan rumah, kau lihat Bunda menunggu dengan senyuman sembari menggendong putri kecil, Bulan sabit di depan mata, penutup rasa sesal dan kecewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar