Translate

“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Seno Gumira Ajidarma,
Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Cari Blog Ini

Jumat, 05 September 2014

ini ceritaku



Senja sudah luntur ketika aku mulai menapaki kampusku. Kampus idamanku,namun jurusan yang aku pilih bukan kebahagiaanku. Aku salah pilih jurusan, dulu kataku. Satu tahun aku mencoba merayap dari setiap ujung balkon, menyusuri celah demi celah di mana aku hanya segelintir debu yang siap terhembus oleh nyanyian sudra. Aku bukan pecinta bahasa, apalagi sastra. Kepingan daun gugur satu per satu dari pucuk pohon cemara depan gedung kuliah III, tempat di mana biasanya aku duduk sendiri di temani pacar setia –laptop. Aku siap menuliskan apa yang aku tangkap, namun aku tak siap jika harus menuliskan racikan kata dan kalimat yang mereka sebut dengan cerpen, ataupun puisi, syukur-syukur novel. Mataku mungkin penikmat ketiga karya itu, namun tanganku belum siap untuk merangkul ketiganya. Butuh waktu dan pemikiran yang hebat untuk mendalami apa itu berkarya.
Kumbang yang jatuh hinggap pada daun jatuh depan gedung kuliah III. Dia menari seperti aktor teater yang sedang memainkan peran juliet. Dengan lembut dia berdansa dengan daun gugur, dengan terkulai dia mulai merasakan bencinya menjadi aktor kemudian dia terbang menjadi penyanyi.
Aku menyunggingkan senyumku, melawan rasa takut pada diriku. Rasa takut akan sebuah kegagalan dalam hidupku dengan masuk ke dalam jurusan yang sengaja aku pilih. Aku tidak salah pilih. Aku ralat kataku kemarin, karena aku memang sengaja memilih, hanya saja bukan sebuah harapan –permainan.
Bermain, menggambarkan coretan-coretan debu jalanan menjadi sebuah sketsa berdinding kegalauan dan kehancuran masa depan. Itu yang dulu aku lukiskan dalam setiap cerita malamku, di mana aku masih menginjak umur belasan tahun. Ketika aku masih mampu menggambarkan setiap ujung helai daun, hingga guratan kerut nenek yang menginjak umur berabad. Tak sempurna bukan ketika aku harus berjumpa sastra. “kata orang dunia fana, tiada yang memang baka, aku tiada rusuh jiwa, tiada engkau lagi cinta” –Arjmin Pene, Belenggu:82.
Aku berdiri dari peristirahatanku, menyusuri lagi gedung-gedung kuliah yang berdiri megah. Setiap lekukan dinding gedung  ramping dengan batu beton penyangga yang agak rapuh, aku masuk ke dalamnya. Setiap lekukan dinding kutemui ruang-ruang kelas tanpa penghuni. Aku menemukan kelas dengan banyak orang, kelas yang kecil orang yang banyak, sesak rasanya melihat perkuliahan ini. Aku masuk mengetuk pintu dan duduk. Mata kuliah sejarah sastra, mata kuliah pertama tentang sastra yang aku dapat di kampus ini. Ketika Wiji Tukul di buang, Munir dibunuh, wartawan Udin dibunuh karena berita. Manifes kebudayaan, lekra bergerak, PKI bertindak. Jam berdentang dengan kendur, kekakuanku mulai luntur. Aku menyelami banyak dalam mata kuliah ini, pikirku. Aku tertarik.
Aku masuk dalam komunitas sastra, Susastra. Perihal tulis menulis, diskusi dan pembantaian akan karya. Semuanya. Aku berharap berkembang, namun aku tetap menjadi batu. Kenyamananku terhadap sastra belum aku dapat. Orang-orangnya memang lincah, lihai memainkan kata dalam sebuah cerita, tapi apa daya, aku mati dalam ketakutanku untuk bersaing dengan mereka. Kulupakan segala pekasih. Kulepas semua topeng. Bukan saja aku tak  mau, tapi juga tak mampu membohongi diri. –Wing Kardjo, Topeng Wanita. Topeng:127.
Aku tak mampu, namun aku harus mau. Hatiku berdesir disemai oleh ombak yang riuh. Lupakan saja semua keraguanku, dan mulai memantapkan kaki untuk menempuh hidup baru. Yakin bisa, semua akan luluh oleh segala usaha. Tak perlu pesimis, semua orang masih belajar untuk mennjadi yang terbaik dan paling baik dari yang baik. Tak ada pilihan lain untuk menyerah, masih banyak kepastian lain untuk melangkah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar