Senja sudah luntur ketika aku mulai menapaki kampusku.
Kampus idamanku,namun jurusan yang aku pilih bukan kebahagiaanku. Aku salah
pilih jurusan, dulu kataku. Satu tahun aku mencoba merayap dari setiap ujung
balkon, menyusuri celah demi celah di mana aku hanya segelintir debu yang siap
terhembus oleh nyanyian sudra. Aku bukan pecinta bahasa, apalagi sastra.
Kepingan daun gugur satu per satu dari pucuk pohon cemara depan gedung kuliah
III, tempat di mana biasanya aku duduk sendiri di temani pacar setia –laptop.
Aku siap menuliskan apa yang aku tangkap, namun aku tak siap jika harus
menuliskan racikan kata dan kalimat yang mereka sebut dengan cerpen, ataupun
puisi, syukur-syukur novel. Mataku mungkin penikmat ketiga karya itu, namun
tanganku belum siap untuk merangkul ketiganya. Butuh waktu dan pemikiran yang
hebat untuk mendalami apa itu berkarya.
Kumbang yang jatuh hinggap pada daun jatuh depan gedung
kuliah III. Dia menari seperti aktor teater yang sedang memainkan peran juliet.
Dengan lembut dia berdansa dengan daun gugur, dengan terkulai dia mulai
merasakan bencinya menjadi aktor kemudian dia terbang menjadi penyanyi.
Aku menyunggingkan senyumku, melawan rasa takut pada diriku.
Rasa takut akan sebuah kegagalan dalam hidupku dengan masuk ke dalam jurusan yang
sengaja aku pilih. Aku tidak salah pilih. Aku ralat kataku kemarin, karena aku
memang sengaja memilih, hanya saja bukan sebuah harapan –permainan.
Bermain, menggambarkan coretan-coretan debu jalanan menjadi
sebuah sketsa berdinding kegalauan dan kehancuran masa depan. Itu yang dulu aku
lukiskan dalam setiap cerita malamku, di mana aku masih menginjak umur belasan
tahun. Ketika aku masih mampu menggambarkan setiap ujung helai daun, hingga
guratan kerut nenek yang menginjak umur berabad. Tak sempurna bukan ketika aku
harus berjumpa sastra. “kata orang dunia
fana, tiada yang memang baka, aku tiada rusuh jiwa, tiada engkau lagi cinta” –Arjmin
Pene, Belenggu:82.
Aku berdiri dari peristirahatanku, menyusuri lagi
gedung-gedung kuliah yang berdiri megah. Setiap lekukan dinding gedung ramping dengan batu beton penyangga yang agak
rapuh, aku masuk ke dalamnya. Setiap lekukan dinding kutemui ruang-ruang kelas
tanpa penghuni. Aku menemukan kelas dengan banyak orang, kelas yang kecil orang
yang banyak, sesak rasanya melihat perkuliahan ini. Aku masuk mengetuk pintu
dan duduk. Mata kuliah sejarah sastra, mata kuliah pertama tentang sastra yang
aku dapat di kampus ini. Ketika Wiji Tukul di buang, Munir dibunuh, wartawan
Udin dibunuh karena berita. Manifes kebudayaan, lekra bergerak, PKI bertindak. Jam
berdentang dengan kendur, kekakuanku mulai luntur. Aku menyelami banyak dalam
mata kuliah ini, pikirku. Aku tertarik.
Aku masuk dalam komunitas sastra, Susastra. Perihal tulis
menulis, diskusi dan pembantaian akan karya. Semuanya. Aku berharap berkembang,
namun aku tetap menjadi batu. Kenyamananku terhadap sastra belum aku dapat. Orang-orangnya
memang lincah, lihai memainkan kata dalam sebuah cerita, tapi apa daya, aku
mati dalam ketakutanku untuk bersaing dengan mereka. Kulupakan segala pekasih.
Kulepas semua topeng. Bukan saja aku tak
mau, tapi juga tak mampu membohongi diri. –Wing Kardjo, Topeng Wanita. Topeng:127.
Aku tak mampu, namun aku harus mau. Hatiku berdesir disemai
oleh ombak yang riuh. Lupakan saja semua keraguanku, dan mulai memantapkan kaki
untuk menempuh hidup baru. Yakin bisa, semua akan luluh oleh segala usaha. Tak
perlu pesimis, semua orang masih belajar untuk mennjadi yang terbaik dan paling
baik dari yang baik. Tak ada pilihan lain untuk menyerah, masih banyak
kepastian lain untuk melangkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar