sore itu, semua telah berbeda. sebenarnya waktu belum menunjukkan pada sore hari. matahari masih di atas kepala manusia, jam masih menunjukkan pukul 14.02. namun, suasana sudah seperti ketika senja tiba di pucuk daun. layung kuning sudah menggantung dari kaki langit, sembuurat merah sudah tampak beberapa kaki. burung-burung blekok masih bercandaan di atas awan, mereka masih berkeok dan berputar putar membentuk sebuah rasi. sepertinya mereka enggan untuk pulang.
sore atau senja atau mungkin masih siang. aku termangu memandang langit yang menampakkan wajahnya menyerupai senja. wajah yang sedang tersenyum, menampakkan ke dua lesung pipi yang sangat manis. manis seperti senyum emak yang dulu waktu aku berumur tiga tahun, aku sering memandanginya lekat-lekat. sungguh elok nan rupawan emak. hingga memikat hati bapak yang gagah dan berani.mereka semua sangat berarti buatku, sebelum kabar dari seekor merpati dari kantor agama mengepakkan sayapnya untuk yang terakhir.
aku teringat, ketika aku masih kecil dipanggul oleh bapak, berputar mengelilingi museum yogya yang baru saja diresmikan. aku lihat senyum bapak, pancaran kegembiraan bapak yang tergambar jelas pada raut mukanya. semua tetes keringat yang ia keluarkan ketika berjalan memanggulku, ia seka dengan senyum bahagia. aku todak tahu itu untuk kebahagiaan bapak sepertipancaran raut mukanya, atau hanya bayangan yang aku gambarkan untuk bapakku. aku tak ingat betul.
dan pada waktu yang sama, aku lihat emak, yang keteteran membawa rantang makanan untuk kita bertiga. rantang dengan isi nasi dan lauk pecel buatan emak tadi pagi. emak tersenyum, dua lesung pipi yang semakin menjorok ke dalam pipi membuatku iri dengan kecantikan emak. kami berjalan menapaki pinggiran tegalan sawah yang masih agak basah. sesekali kami berhenti untuk minum sejenak, melepaskan dahaga yang menguras keringat bapak dan emak. perjalanan sejauh delapan kilometer semakin tak dirasakan ketika kami sudah memasuki jalanan aspal, sebentar lagi akan sampai nak, bisik emak.
aku berjingkrak tak sabar ingin melihat museum yang bapak janjikan. dipinggiran jalan, terdapat berbagai macam pedagang asongan, mulai dari penjual gulali, hingga balon eceran. mataku tertuju pada pedagang asongan paling ujung dari pedagang lain di seberang jalan. aku ingin bola bola plastik warna merah. suaraku mulai kencang berteriak meminta agar dibelikan bola itu. bapak dan emak melarang, mereka menasehatiku untuk belinya nanati di museum. tapi aku tak berfikir untuk bersabar. aku terus merengek hingga akhirnya emak meyeberang jalan untuk membelikanku bola bola plastik.
meak menoleh kanan dan kiri barangkali ada kendaraan lewat. dilihatnya dan tiada kendaraan. emak berjalan pelan seperti priyayi solo, maklum emak memakai jarit peninggalan simbah. sampai dipertengahan jalan tempat emak menyeberang, tanpa dinyana sebuah motor dengan cepat melaju kencang. emak terguling dipinggiran tempat penjual bola bola plastik yang aku inginkan. sungguh emak hebat, dengan berguling mampu mempercepat perjalanannya, batinku. bapak segera berlari, orang-orang sekitar menjerit sejadinya. rantang bawaan emak tumpah berantakan, darah segar mulai mengalir dari sebagian tubuh meak. baru aku sadar emak kecelakaan. emak, kau tidak apa-apa?
bapak menempelkan jari telunjuknya ke hidung emak, entah apa yang bapak rasakan. bapak menggoyang goyangkan tangan emak berharap ada sebuah gerakan dari emak. bapak menangis dan orang-orang menggotong tubuh emak ke pinggiran. tak lama kemudian datang sebuah mobil pick up yang siap mengantar emak pulang ke rumah. isak tangis bapak masih dapat aku rasakan sampai sekarang. bodohku, aku tak tahu emak meninggal. bapak hanya diam, aku pun juga diam sebagai anak yang baik dan tak banyak berbicara.
pak, emak kenapa...
sampai di rumah semua orang bertanya, mengapa emak aku dan bapak di antarkan dengan sebuah mobil, mobil barukah?
ah, dengan segera tubuh emak digotong turun dari mobil. isak tangis semakin menjadi, namun aku tak meneteskan satu titik air mata dari kelopak mataku. emak.aku rindu emak. ketika darah sudah berhenti mengalir, pemandian sudah siap digelar di tanah lapang depan rumahku. tubuh emak diguyur dan diangkat kembali. kain putih segera menyelimuti tubuh emak dengan teliti dan rapi. keranda, ronce bunga sudah disiapkan khusus untuk emak. sedari tadi aku ada disamping emak, meunggui emak. simbah memanggilku dan membopongku. aku rasakan bekas air mata yang mengalir dari pipi simbah. aku tetap diam, menurut saja apa yang simbah lakukan.
upacara segera dilangsungkan, tubuh emak dimasukkan keranda dan ditutup dengan kain hijau dengan hiasan ronce bunga mawar dan kantil. emak dibawa pergi dari rumah. emak, emak kenapa, kenapa emak tak berbicara. mengapa emak pergi sendiri. aku masih ingin bersama emak dan bapak menuju museum yang dijanjikan bapak. emak, aku kangen emak..
sore atau senja atau mungkin masih siang. aku termangu memandang langit yang menampakkan wajahnya menyerupai senja. wajah yang sedang tersenyum, menampakkan ke dua lesung pipi yang sangat manis. manis seperti senyum emak yang dulu waktu aku berumur tiga tahun, aku sering memandanginya lekat-lekat. sungguh elok nan rupawan emak. hingga memikat hati bapak yang gagah dan berani.mereka semua sangat berarti buatku, sebelum kabar dari seekor merpati dari kantor agama mengepakkan sayapnya untuk yang terakhir.
aku teringat, ketika aku masih kecil dipanggul oleh bapak, berputar mengelilingi museum yogya yang baru saja diresmikan. aku lihat senyum bapak, pancaran kegembiraan bapak yang tergambar jelas pada raut mukanya. semua tetes keringat yang ia keluarkan ketika berjalan memanggulku, ia seka dengan senyum bahagia. aku todak tahu itu untuk kebahagiaan bapak sepertipancaran raut mukanya, atau hanya bayangan yang aku gambarkan untuk bapakku. aku tak ingat betul.
dan pada waktu yang sama, aku lihat emak, yang keteteran membawa rantang makanan untuk kita bertiga. rantang dengan isi nasi dan lauk pecel buatan emak tadi pagi. emak tersenyum, dua lesung pipi yang semakin menjorok ke dalam pipi membuatku iri dengan kecantikan emak. kami berjalan menapaki pinggiran tegalan sawah yang masih agak basah. sesekali kami berhenti untuk minum sejenak, melepaskan dahaga yang menguras keringat bapak dan emak. perjalanan sejauh delapan kilometer semakin tak dirasakan ketika kami sudah memasuki jalanan aspal, sebentar lagi akan sampai nak, bisik emak.
aku berjingkrak tak sabar ingin melihat museum yang bapak janjikan. dipinggiran jalan, terdapat berbagai macam pedagang asongan, mulai dari penjual gulali, hingga balon eceran. mataku tertuju pada pedagang asongan paling ujung dari pedagang lain di seberang jalan. aku ingin bola bola plastik warna merah. suaraku mulai kencang berteriak meminta agar dibelikan bola itu. bapak dan emak melarang, mereka menasehatiku untuk belinya nanati di museum. tapi aku tak berfikir untuk bersabar. aku terus merengek hingga akhirnya emak meyeberang jalan untuk membelikanku bola bola plastik.
meak menoleh kanan dan kiri barangkali ada kendaraan lewat. dilihatnya dan tiada kendaraan. emak berjalan pelan seperti priyayi solo, maklum emak memakai jarit peninggalan simbah. sampai dipertengahan jalan tempat emak menyeberang, tanpa dinyana sebuah motor dengan cepat melaju kencang. emak terguling dipinggiran tempat penjual bola bola plastik yang aku inginkan. sungguh emak hebat, dengan berguling mampu mempercepat perjalanannya, batinku. bapak segera berlari, orang-orang sekitar menjerit sejadinya. rantang bawaan emak tumpah berantakan, darah segar mulai mengalir dari sebagian tubuh meak. baru aku sadar emak kecelakaan. emak, kau tidak apa-apa?
bapak menempelkan jari telunjuknya ke hidung emak, entah apa yang bapak rasakan. bapak menggoyang goyangkan tangan emak berharap ada sebuah gerakan dari emak. bapak menangis dan orang-orang menggotong tubuh emak ke pinggiran. tak lama kemudian datang sebuah mobil pick up yang siap mengantar emak pulang ke rumah. isak tangis bapak masih dapat aku rasakan sampai sekarang. bodohku, aku tak tahu emak meninggal. bapak hanya diam, aku pun juga diam sebagai anak yang baik dan tak banyak berbicara.
pak, emak kenapa...
sampai di rumah semua orang bertanya, mengapa emak aku dan bapak di antarkan dengan sebuah mobil, mobil barukah?
ah, dengan segera tubuh emak digotong turun dari mobil. isak tangis semakin menjadi, namun aku tak meneteskan satu titik air mata dari kelopak mataku. emak.aku rindu emak. ketika darah sudah berhenti mengalir, pemandian sudah siap digelar di tanah lapang depan rumahku. tubuh emak diguyur dan diangkat kembali. kain putih segera menyelimuti tubuh emak dengan teliti dan rapi. keranda, ronce bunga sudah disiapkan khusus untuk emak. sedari tadi aku ada disamping emak, meunggui emak. simbah memanggilku dan membopongku. aku rasakan bekas air mata yang mengalir dari pipi simbah. aku tetap diam, menurut saja apa yang simbah lakukan.
upacara segera dilangsungkan, tubuh emak dimasukkan keranda dan ditutup dengan kain hijau dengan hiasan ronce bunga mawar dan kantil. emak dibawa pergi dari rumah. emak, emak kenapa, kenapa emak tak berbicara. mengapa emak pergi sendiri. aku masih ingin bersama emak dan bapak menuju museum yang dijanjikan bapak. emak, aku kangen emak..
Bagus tulisannya. :D Silakan kunjungi blog saya jg ya : klasikmomen.blogspot.com Terima kasih.
BalasHapusTerimakasih :) bagusnya dimananya ya? iya saya kunjungi :)
Hapus