Aku mengejar mentari bukan untuk sementara. Demi sebuah cita-cita semua aku lakukan untuk mencapai sebuah kepuasan, dalam diriku demi orang tuaku. Demi sebuah surat keterangan sah, yang dapat menjadikanku orang berpangkat dan mempunyai sebuah derajat untukku melangkah ke depan. Bukan untukku berfoya maupun sombong dengan keadaan. Hanya saja inginku yang menjadi seorang berpangkat, bukan legendaris namun dapat dikenang dengan jelas oleh orang yang dahulu membenciku. Bahkan memandangku rendah, lebih rendah ketika aku berkaca pada diriku yang sudah sangat rendah.
Aah mungkin hanya pendapat seseorang agar aku menjadi drop dan down. Namun apalah yang dapat orang lakukan jika itu sudah menjadi ambisi seseorang sepertiku. Mungkin benar aku orang yang mudah sekali rusak prinsipnya yang sudah selama ini aku bangun dan aku tata dengan cara apapun.
Aku hanya ingin orang tau, aku yang mempunyai latar belakang sebuah keluarga yang dahulu memang mungkin memiliki derajat. Namun sekarang, orang pun dapat memandang hanya dengan sebelah mata tanpa harus menundukkan kepala seperti dahulu kala disaat aku belum mengenal siapa keluargaku.
Sekarang aku sudah dapat mengenal, siapa aku dan dimana jati diriku. Semua ejekan yang dulu dapat tertutup oleh sebuah derajat seorang kakek dan nenek sekarang menjadi ejekan yang menjatuhkan siapa saja yang ada diposisiku. Karena mungkin orangtuaku, yang terlalu kolot, yang tak memandang sebuah masa depan itu adalah tantangan. Hanya memandang kebahagiaan dan tidak membuka diri menjadi terbuka dengan masa depan.
Sekarang dapatlah kau lihat, bagaimana keluargaku menjadi dibawah. Roda mungkin sudah berputar, tetapi mengapa harus seratus delapan puluh derajat? Haruskah seperti itu? Akankah aku kuat dengan semua....
Hilir mudik angin berteriak menghempas rumah yang sudah ronta dan berumur yang meronta-ronta agar segera dirubuhkan saja. Ah tidak masuk akal ketika aku menyelami apa yang diselipkan mimpiku itu lewat tidurku. tetap saja aku ingin memutar arah ke depan bahkan kesamping kanan. Aku ingin semuanya menjadi seperti dulu. Ketika semuanya menjadi mudah tanpa halangan.
Derap suara bedug adzan selalu memanggil dengan berteriak agar aku meluruhkan segala apa keresahanku dan semua pikiranku tentang hal yang tidak seharusnya terjadi. Aku hanya dapat menundukkan kepalaku, melantunkan doa demi sebuah peristiwa. Memandang ke langit langit jendela berharap ada jawaban atas semua keresahanku, berharap malaikat akan menjemputku dan mengajakku berlibur. Untuk sejenak bahkan untuk selamanya, dan aku dapat memandang keluargaku dari atas sana. Dari sebuah kawah sunyi yang dinamakan itu syurga ataukah neraka.
Tuhan ketika aku harus tetap berdiri pada awan yang sedang aku pijaki, akankah aku terjatuh kembali ke dunia dan merasakan hawa angin semilir yang selalu menyekat rongga dadaku. Menusukku bahkan merajamku dari belakang, dengan sebuah patahan kata yang setiap hari aku dengar dari orang-orang.
Mataku tetap terpejam dan diam, keheningan sebuah sujud dalam doa pun mengurai deras air mata. Ketika aku tak mampu merasakan indahnya dunia itulah mungkin jawaban dari semua ...
Aah mungkin hanya pendapat seseorang agar aku menjadi drop dan down. Namun apalah yang dapat orang lakukan jika itu sudah menjadi ambisi seseorang sepertiku. Mungkin benar aku orang yang mudah sekali rusak prinsipnya yang sudah selama ini aku bangun dan aku tata dengan cara apapun.
Aku hanya ingin orang tau, aku yang mempunyai latar belakang sebuah keluarga yang dahulu memang mungkin memiliki derajat. Namun sekarang, orang pun dapat memandang hanya dengan sebelah mata tanpa harus menundukkan kepala seperti dahulu kala disaat aku belum mengenal siapa keluargaku.
Sekarang aku sudah dapat mengenal, siapa aku dan dimana jati diriku. Semua ejekan yang dulu dapat tertutup oleh sebuah derajat seorang kakek dan nenek sekarang menjadi ejekan yang menjatuhkan siapa saja yang ada diposisiku. Karena mungkin orangtuaku, yang terlalu kolot, yang tak memandang sebuah masa depan itu adalah tantangan. Hanya memandang kebahagiaan dan tidak membuka diri menjadi terbuka dengan masa depan.
Sekarang dapatlah kau lihat, bagaimana keluargaku menjadi dibawah. Roda mungkin sudah berputar, tetapi mengapa harus seratus delapan puluh derajat? Haruskah seperti itu? Akankah aku kuat dengan semua....
Hilir mudik angin berteriak menghempas rumah yang sudah ronta dan berumur yang meronta-ronta agar segera dirubuhkan saja. Ah tidak masuk akal ketika aku menyelami apa yang diselipkan mimpiku itu lewat tidurku. tetap saja aku ingin memutar arah ke depan bahkan kesamping kanan. Aku ingin semuanya menjadi seperti dulu. Ketika semuanya menjadi mudah tanpa halangan.
Derap suara bedug adzan selalu memanggil dengan berteriak agar aku meluruhkan segala apa keresahanku dan semua pikiranku tentang hal yang tidak seharusnya terjadi. Aku hanya dapat menundukkan kepalaku, melantunkan doa demi sebuah peristiwa. Memandang ke langit langit jendela berharap ada jawaban atas semua keresahanku, berharap malaikat akan menjemputku dan mengajakku berlibur. Untuk sejenak bahkan untuk selamanya, dan aku dapat memandang keluargaku dari atas sana. Dari sebuah kawah sunyi yang dinamakan itu syurga ataukah neraka.
Tuhan ketika aku harus tetap berdiri pada awan yang sedang aku pijaki, akankah aku terjatuh kembali ke dunia dan merasakan hawa angin semilir yang selalu menyekat rongga dadaku. Menusukku bahkan merajamku dari belakang, dengan sebuah patahan kata yang setiap hari aku dengar dari orang-orang.
Mataku tetap terpejam dan diam, keheningan sebuah sujud dalam doa pun mengurai deras air mata. Ketika aku tak mampu merasakan indahnya dunia itulah mungkin jawaban dari semua ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar