"ayah kami mempunyai mimpi"
sepenggal kata yang terucap dari mulut Lina saat menjabat tangan kasar Ayah. entah apa yang akan dilakukan lina untuk menutupi semua kata kata ayah tentang mimpinya, hanya saja mbok Nah, sang pembantu yang selalu menguatkan. lina yang ingin menjadi seorang sastrawan, novelis, harpannya dipenggal oleh pendirian ayah.
"mau jadi apa setelah kau kuliah mengambil jurusan sastra? tak ada gunanya! lebih berguna jika kau mengambil ilmu kedokteran maupun pendidikan" gertak ayah.
lina tak mampu berucap, diam seketika suasana dalam ruangan yang berukuran 3x4 meter, berdindingkan anyaman bambu, berhiaskan lampu lima watt yang menyala berkedip-kedip. hembusan angin malam menambah kesenduan malam itu. semua angan yang sudah ia rangkai dari dulu seakan terbang karena sebuah pukulan keras yang mendarat di pipi kanan lina.
entah kanapa ayah ingin sekali lina menjadi seorang dokter, orang yang berpangkat, bukan menjadi sastrawan yang tak jelas arah langkah kakinya untuk berlalu lalang.
lina tak mengerti kenapa pemikiran ayah seperti itu, entah kurangnya pemahaman atau terpacu dengan kata kekayaan, yang mana seorang dokter asti bisa menghidupinya kelak.
resah datang menghardik pikiran lina, sekian kali ia merasakan sakit karena apa yang ia mau tak dapat terpenuhi. setiap malam ia mencoba panjatkan doa mencari pertolongan dari sang khalik barangkali sang khalik dapat menafsirkan keresahannya. air mata yang tergenang dalam pelupuk mata lina tak hentinya mengalir dan enggan untuk segera kering. ia mencoba usap berkali kali air mata itu, namun apa kuasa hati tak yang terus meminta mata untuk tetap mengalirkan air matanya.ia larut akan doa, ia larut akan air mata, ia tenggelam dalam percakapan khusyuk dengan tuhan di malam ini, disaksikan jubah kain putih yang membalut tubuhnya dan dengan sajadah yang memberikan ia temapt untuk bersimpuh.
keesokannya dimana saat ayah sedang duduk menikmati kehangatan aroma kopi hitam di teras rumah ditemani lembaran koran yang tergenggam di tangan ayah.
"lina! kemari! lihat ini, berita hari ini, seorang bayi yang menderita penyakit tumor pada otaknya, ia dikabarkan selamat dari operasi yang dijalaninya kemarin malam. dan yang harus kau tau, siapa yang menolongnya?" tutur ayah
"tuhan ayah.." jawab lina pelan
"tuhan? ya memang tuhan. tapi perantaranya kau tau siapa?"
"dokter ayah, entah siapapun itu namanya"
"tak penting siapapun itu namanya lina, akan tetapi kata dokter itu cermatilah! betapa hebatnya dia"
"iya ayah, aku paham, tapi aku tak suka tenaga profesi ayah, aku suka yang bebas seperti sastrawan!"
"kau itu, kenapa kau tak paham maksud ayah dari dulu?! apakah laki-laki gelandangan yang sering kau temui itu yang menghasutmu unutk menjadi seorang sastrawan?!" cekal ayah
"tidak ayah, tidak. ini kemauanku, ini mimpiku, apakah ayah tak mengerti tentang mimpi seorang anak?"
'' usahlah kau pikirkan mimpimu itu! turuti perintah ayah, pasti kau akan bahagia!"
"tapi ayah ... "
"sudah, cukup terserah, ayah capek! kau itu memang bandel sama seperti almarhum ibu mu yang selalu membantah"
"jangan ayah hina ibu!"
"kenapa! ibumu seorang wartawan yang bisanya hanya pergi saja, apa kamu mau juga jadi sastrawan yang bisanya cuma keluyuran entah kemana tak peduli dengan tanggungannya dirumah? mau jadi wanita macam apa kau itu!"
" ayah .. tanpa adanya wartawan ayah tak akan mungkin dapat membaca koran yang ayah pegang sekarang"
"tapi kan itu dapat dilakukan seorang laki laki. wartawan pekerjaan laki laki.ah sudahlah, ayah banyak urusan. telaah saja sendiri kata kata ayah"
ayahpun pergi meninggalkan lina, air mata kembali tergenang dalam pelupuk mata lina. seberapapun lina berusaha untuk merengek minta apa yang ia mau, pasti ayah larang.
lina segera mengambil motornya dan pergi. pikiran lina yang nanar mengacaukan jalan yang ia lewati. berkali kali ia hampir menabrak orang. tapi lina lekas kembali normal lagi, dan di saat sampai di pemberhentian lampu merah, tak disangka dan tak menyangka, nyawa lina melayang seketika. meninggalkan harapannya menjadi seorang sastrawan. tubuhnya hampir hancur diterkam oleh ban truk pengangkut barang muatan dari pelabuhan tanjung pinang. darah segar mengalir dengan derasnya mengucur dari pelipis kanan lina. tangan yang semulanya menggenggam kendali pada motor racing lina lepas dipaksa oleh kepala truk itu.
bunga sesaji mengharumkan rumah duka lina, bermacam ayat ayat suci untuk mengantarkan arwah lina ke pemakaman diserukan dengan kencangnya. didepan keranda lina terdapat seorang laki laki tua yang mendekap bingkai foto dengan eratnya. air mata mengucur tak dapat di bendung. meninggalkan hawa muram menyanding kesedihan.
"maafkan ayah lina, ayah terlalu memaksakan kehendak ayah, ayah tak mau kamu meninggalkan ayah seperti ayah kehilangan ibumu disaat ibu mu bertugas mengabdikan jasanya. maaf .."
hujan diluar rumah seraya membisikkan kepada para pelayat untuk tetap menemani sang ayah agar tak bersedih hati ketika jasad lina dimakan oleh gumapalan tanah beserta isinya.
sepenggal kata yang terucap dari mulut Lina saat menjabat tangan kasar Ayah. entah apa yang akan dilakukan lina untuk menutupi semua kata kata ayah tentang mimpinya, hanya saja mbok Nah, sang pembantu yang selalu menguatkan. lina yang ingin menjadi seorang sastrawan, novelis, harpannya dipenggal oleh pendirian ayah.
"mau jadi apa setelah kau kuliah mengambil jurusan sastra? tak ada gunanya! lebih berguna jika kau mengambil ilmu kedokteran maupun pendidikan" gertak ayah.
lina tak mampu berucap, diam seketika suasana dalam ruangan yang berukuran 3x4 meter, berdindingkan anyaman bambu, berhiaskan lampu lima watt yang menyala berkedip-kedip. hembusan angin malam menambah kesenduan malam itu. semua angan yang sudah ia rangkai dari dulu seakan terbang karena sebuah pukulan keras yang mendarat di pipi kanan lina.
entah kanapa ayah ingin sekali lina menjadi seorang dokter, orang yang berpangkat, bukan menjadi sastrawan yang tak jelas arah langkah kakinya untuk berlalu lalang.
lina tak mengerti kenapa pemikiran ayah seperti itu, entah kurangnya pemahaman atau terpacu dengan kata kekayaan, yang mana seorang dokter asti bisa menghidupinya kelak.
resah datang menghardik pikiran lina, sekian kali ia merasakan sakit karena apa yang ia mau tak dapat terpenuhi. setiap malam ia mencoba panjatkan doa mencari pertolongan dari sang khalik barangkali sang khalik dapat menafsirkan keresahannya. air mata yang tergenang dalam pelupuk mata lina tak hentinya mengalir dan enggan untuk segera kering. ia mencoba usap berkali kali air mata itu, namun apa kuasa hati tak yang terus meminta mata untuk tetap mengalirkan air matanya.ia larut akan doa, ia larut akan air mata, ia tenggelam dalam percakapan khusyuk dengan tuhan di malam ini, disaksikan jubah kain putih yang membalut tubuhnya dan dengan sajadah yang memberikan ia temapt untuk bersimpuh.
keesokannya dimana saat ayah sedang duduk menikmati kehangatan aroma kopi hitam di teras rumah ditemani lembaran koran yang tergenggam di tangan ayah.
"lina! kemari! lihat ini, berita hari ini, seorang bayi yang menderita penyakit tumor pada otaknya, ia dikabarkan selamat dari operasi yang dijalaninya kemarin malam. dan yang harus kau tau, siapa yang menolongnya?" tutur ayah
"tuhan ayah.." jawab lina pelan
"tuhan? ya memang tuhan. tapi perantaranya kau tau siapa?"
"dokter ayah, entah siapapun itu namanya"
"tak penting siapapun itu namanya lina, akan tetapi kata dokter itu cermatilah! betapa hebatnya dia"
"iya ayah, aku paham, tapi aku tak suka tenaga profesi ayah, aku suka yang bebas seperti sastrawan!"
"kau itu, kenapa kau tak paham maksud ayah dari dulu?! apakah laki-laki gelandangan yang sering kau temui itu yang menghasutmu unutk menjadi seorang sastrawan?!" cekal ayah
"tidak ayah, tidak. ini kemauanku, ini mimpiku, apakah ayah tak mengerti tentang mimpi seorang anak?"
'' usahlah kau pikirkan mimpimu itu! turuti perintah ayah, pasti kau akan bahagia!"
"tapi ayah ... "
"sudah, cukup terserah, ayah capek! kau itu memang bandel sama seperti almarhum ibu mu yang selalu membantah"
"jangan ayah hina ibu!"
"kenapa! ibumu seorang wartawan yang bisanya hanya pergi saja, apa kamu mau juga jadi sastrawan yang bisanya cuma keluyuran entah kemana tak peduli dengan tanggungannya dirumah? mau jadi wanita macam apa kau itu!"
" ayah .. tanpa adanya wartawan ayah tak akan mungkin dapat membaca koran yang ayah pegang sekarang"
"tapi kan itu dapat dilakukan seorang laki laki. wartawan pekerjaan laki laki.ah sudahlah, ayah banyak urusan. telaah saja sendiri kata kata ayah"
ayahpun pergi meninggalkan lina, air mata kembali tergenang dalam pelupuk mata lina. seberapapun lina berusaha untuk merengek minta apa yang ia mau, pasti ayah larang.
lina segera mengambil motornya dan pergi. pikiran lina yang nanar mengacaukan jalan yang ia lewati. berkali kali ia hampir menabrak orang. tapi lina lekas kembali normal lagi, dan di saat sampai di pemberhentian lampu merah, tak disangka dan tak menyangka, nyawa lina melayang seketika. meninggalkan harapannya menjadi seorang sastrawan. tubuhnya hampir hancur diterkam oleh ban truk pengangkut barang muatan dari pelabuhan tanjung pinang. darah segar mengalir dengan derasnya mengucur dari pelipis kanan lina. tangan yang semulanya menggenggam kendali pada motor racing lina lepas dipaksa oleh kepala truk itu.
bunga sesaji mengharumkan rumah duka lina, bermacam ayat ayat suci untuk mengantarkan arwah lina ke pemakaman diserukan dengan kencangnya. didepan keranda lina terdapat seorang laki laki tua yang mendekap bingkai foto dengan eratnya. air mata mengucur tak dapat di bendung. meninggalkan hawa muram menyanding kesedihan.
"maafkan ayah lina, ayah terlalu memaksakan kehendak ayah, ayah tak mau kamu meninggalkan ayah seperti ayah kehilangan ibumu disaat ibu mu bertugas mengabdikan jasanya. maaf .."
hujan diluar rumah seraya membisikkan kepada para pelayat untuk tetap menemani sang ayah agar tak bersedih hati ketika jasad lina dimakan oleh gumapalan tanah beserta isinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar