Aku sedang menangis ayah, rindu akan ceritamu tentang makna
hidup. Aku kesepian, sendirian tanpa ada orang yang menyapaku. Hidupku seperti
daun yang sudah kering. Rapuh ketika diinjak dan terbang ketika ditiup, serta
menjadi sampah bagi orang sekitarku ketika aku disapu dari kampung ini.
Aku terlunta terbawa oleh arus yang menyiksa. Aku kacau, aku
hidup tanpa sebuah harapan untuk hidup. Nasib dan takdir adalah dua hal yang
aku impikan dan aku nanti. Aku yakin, ayah bahagia tanpa bias kelam ketika ayah
meninggalkanku.
Kehidupanku sangat sepi. Dipenghujung tahun dan dibuka
kembali awal tahun dengan kebosanan. Adakah yang menurut ayah orang untuk
menemaniku di kala siang ataupun malam. Apa ayah, ada? Tak salahkah engkau
berucap. Selama ini aku sendiri, menari di atas perihnya ujian demi ujian
hidupku. Aku sendiri, orang acuh kepadaku. Bagaimana ada orang yang mau
menemaniku jika aku terus merasa kesendirian sudah mendasar pada hidupku.
Ayah, datangkah ia untuk menghibur? Tidak kata ayah? atau
datangnya ia hanya untuk menemaniku diam membisu. Kalau begitu, aku akan tetap
sendiri. Perih sekali hati ini ayah ketika aku memang harus hidup dengan
kesendirian, bersama hujan, matahari dan udara yang kumal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar