Aku tak tahu Tuhan, apa yang
membuat sang Ibu tersenyum. Akhir-akhir ini memang Ibu sering banyak murung
mengahadapi hidupnya sebagai seorang sang wanita perkasa dalam keluarganya,
mengahadapi sang Ayah yang sudah berumur dan psikologisnya berubah menjadi anak-anak,
di tambah sang anak yang selalu menggebrak materi. Ibu bukan bank berjalan,
hanya Ibu rumah tangga yang lemah, tubuhnya kecil digerogoti usia yang sudah
lebih dari setengah abad. Sampai usia yang setua itu belum ada anak-anaknya
yang dapat membahagiakan hatinya, membanggakan hatinya pun tak pernah Ibu
dapat.
Ibu hanya ingin kehidupannya
mapan di hari tuanya, bukan rumah yang lapuk reyot dimakan usia yang masih
dipakai untuk tempat peristirahatannya. Atapnya yang bolong sehingga membiarkan
air hujan masuk ketika hujan menyirami rumah itu. Di dalam rumah pun jangan di
bayangkan terdapat segunung harta, bahkan tak ada harta berharga di dalam
rumahnya. Tapi yang selalu Ibu banggakan satu, yang menurutnya itu adalah
barang berharga yang pernah Ibu punya, yaitu foto keluarga.
Memang tanah Ayah luas, dan
sekiranya cukup apabila dijual dan membeli satu unit rumah mewah. Tetangga
sudah sering kali membujuk untuk menjual sebagian tanahnya. Orang luar pun
sudah banyak yang datang dan menawar tanah itu dengan harga berapapun semau
Ayah. Tapi tak sedikit pun Ayah berkutik, pendirian Ayah tetap kokoh tak mau
menjual tanahnya demi apapun, ia rela berselimutkan air saat hujan menerpa
rumahnya, ia rela terpapar sinar matahari saat siang berjalan. Ibu sampai
bingung kemanakah otak Ayah, apakah yang dipikirkannya untuk masa depannya
kelak.
“ini peninggalan orang tuaku,
dan akan aku jaga tak akan aku cuil sedikitpun, kelak untuk urusan rumah, pasti
ada jalan tersendiri, bukan dengan menjual peninggalan”, tutur Ayah.
Disela kesibukan yang padat
merayap, sering Ibu marah dengan Ayah, begitu juga sebaliknya. Percekcokan itu
membingkai rumah tangga mereka. Dengan gamblangnya pertikaian itu di pemerkan
di depan anaknya. Mereka tak peduli tentang apa risiko untuk psikologis anaknya.
Dan saat anak itu mulai beranjak dewasa toh otomatis dia menjadi anak yang
memberontak oleh perkataan siapapun. Sang Ayah hanya bisa menyalahkan kepada
sang Ibu.
“Kau tak bisa mendidik anakmu
dengan benar, saat anak mu menjadi pembangkang seperti ini apa yang akan kau
lakukan?” gertak Ayah.
“kau tak bisa apa-apakan, yaa
itu salahmu, pendidikan mu terhadap anak bernilai NOL!” sambung Ayah karena Ibu
hanya tunduk terdiam.
Lantunan kata demi kata menghardik hati Ibu,
terpasang seperti paku yang menancap dalam kalbu.
Apadaya yang dapat Ibu lalukan
kecuali hanya dapat mengadu kepada sang Khalik, setiap malam ia bercerita, ia
menjerang matanya, meraba air wudhu yang suci, bersimpuh bersujud mendendangkan
rintihan kejamnya kehidupan. Meminta agar di berikan ketabahan menjalani
kehidupan yang bengisnya luar biasa..
Esoknya seakan Tuhan menjawab
doa Ibu tanpa pikir panjang, Tuhan datangkan gempa bumi dengan kekuatan yang
cukup besar, sehingga menggoncang rumah yang dahulu kokoh menjelma menjadi
reyot dan sekarang berserak-serak. Sebagian rumah itu rubuh. Ayah hanya dapat
terdiam, bergitu pula sang anak. Mereka duduk terdiam seakan berfikir sangat
berat, apa yang akan mereka lakukan setelah ini.
Tapi beruntunglah karena
bencana itu. Keesokannya seakan Ibu dirajam malaikat yang sangat lembut.
Tingkah pemikiran Ayah dan anak menjadi luluh dan berubah menjadi sebuah
semangat untuk Ibu. Anaknya dan Ayahnya bekerja bersusah payah untuk kembali
mendirikan istana mereka. Dengan bantuan dari orang lain dan para tetangga juga
mereka berbondong-bongdong bergotong royong untuk menebas kesedihan dan
kekacauan dalam keluarga Ibu.
“Ibu, maafkan kami, kesalahan
kami, keangkuhan tingakah laku kami biarlah kami bayar dengan bukti atas janji
kami, hiduplah keluarga yang saling menyayangi’’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar