Translate

“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Seno Gumira Ajidarma,
Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Cari Blog Ini

Senin, 04 November 2013

AKANKAH AKU MENELAN LUKA DALAM HARI TUAKU





Aku tak tahu Tuhan, apa yang membuat sang Ibu tersenyum. Akhir-akhir ini memang Ibu sering banyak murung mengahadapi hidupnya sebagai seorang sang wanita perkasa dalam keluarganya, mengahadapi sang Ayah yang sudah berumur dan psikologisnya berubah menjadi anak-anak, di tambah sang anak yang selalu menggebrak materi. Ibu bukan bank berjalan, hanya Ibu rumah tangga yang lemah, tubuhnya kecil digerogoti usia yang sudah lebih dari setengah abad. Sampai usia yang setua itu belum ada anak-anaknya yang dapat membahagiakan hatinya, membanggakan hatinya pun tak pernah Ibu dapat.

Ibu hanya ingin kehidupannya mapan di hari tuanya, bukan rumah yang lapuk reyot dimakan usia yang masih dipakai untuk tempat peristirahatannya. Atapnya yang bolong sehingga membiarkan air hujan masuk ketika hujan menyirami rumah itu. Di dalam rumah pun jangan di bayangkan terdapat segunung harta, bahkan tak ada harta berharga di dalam rumahnya. Tapi yang selalu Ibu banggakan satu, yang menurutnya itu adalah barang berharga yang pernah Ibu punya, yaitu foto keluarga.

Memang tanah Ayah luas, dan sekiranya cukup apabila dijual dan membeli satu unit rumah mewah. Tetangga sudah sering kali membujuk untuk menjual sebagian tanahnya. Orang luar pun sudah banyak yang datang dan menawar tanah itu dengan harga berapapun semau Ayah. Tapi tak sedikit pun Ayah berkutik, pendirian Ayah tetap kokoh tak mau menjual tanahnya demi apapun, ia rela berselimutkan air saat hujan menerpa rumahnya, ia rela terpapar sinar matahari saat siang berjalan. Ibu sampai bingung kemanakah otak Ayah, apakah yang dipikirkannya untuk masa depannya kelak. 

“ini peninggalan orang tuaku, dan akan aku jaga tak akan aku cuil sedikitpun, kelak untuk urusan rumah, pasti ada jalan tersendiri, bukan dengan menjual peninggalan”, tutur Ayah.

Disela kesibukan yang padat merayap, sering Ibu marah dengan Ayah, begitu juga sebaliknya. Percekcokan itu membingkai rumah tangga mereka. Dengan gamblangnya pertikaian itu di pemerkan di depan anaknya. Mereka tak peduli tentang apa risiko untuk psikologis anaknya. Dan saat anak itu mulai beranjak dewasa toh otomatis dia menjadi anak yang memberontak oleh perkataan siapapun. Sang Ayah hanya bisa menyalahkan kepada sang Ibu. 

“Kau tak bisa mendidik anakmu dengan benar, saat anak mu menjadi pembangkang seperti ini apa yang akan kau lakukan?” gertak Ayah.

“kau tak bisa apa-apakan, yaa itu salahmu, pendidikan mu terhadap anak bernilai NOL!” sambung Ayah karena Ibu hanya tunduk terdiam.
Lantunan kata demi kata menghardik hati Ibu, terpasang seperti paku yang menancap dalam kalbu. 

Apadaya yang dapat Ibu lalukan kecuali hanya dapat mengadu kepada sang Khalik, setiap malam ia bercerita, ia menjerang matanya, meraba air wudhu yang suci, bersimpuh bersujud mendendangkan rintihan kejamnya kehidupan. Meminta agar di berikan ketabahan menjalani kehidupan yang bengisnya luar biasa..

Esoknya seakan Tuhan menjawab doa Ibu tanpa pikir panjang, Tuhan datangkan gempa bumi dengan kekuatan yang cukup besar, sehingga menggoncang rumah yang dahulu kokoh menjelma menjadi reyot dan sekarang berserak-serak. Sebagian rumah itu rubuh. Ayah hanya dapat terdiam, bergitu pula sang anak. Mereka duduk terdiam seakan berfikir sangat berat, apa yang akan mereka lakukan setelah ini.

Tapi beruntunglah karena bencana itu. Keesokannya seakan Ibu dirajam malaikat yang sangat lembut. Tingkah pemikiran Ayah dan anak menjadi luluh dan berubah menjadi sebuah semangat untuk Ibu. Anaknya dan Ayahnya bekerja bersusah payah untuk kembali mendirikan istana mereka. Dengan bantuan dari orang lain dan para tetangga juga mereka berbondong-bongdong bergotong royong untuk menebas kesedihan dan kekacauan dalam keluarga Ibu.

“Ibu, maafkan kami, kesalahan kami, keangkuhan tingakah laku kami biarlah kami bayar dengan bukti atas janji kami, hiduplah keluarga yang saling menyayangi’’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar