Translate

“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.”
Seno Gumira Ajidarma,
Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Cari Blog Ini

Selasa, 21 April 2015

Laut

Bila malam, kisah ini akan bertambah semakin maalam. 
Aku berjalan dengan gontai menuju laut lepas. Keinginanku melepaskan semua masalah yang pernah ada. Memberikanku jawaban untuk berjalan menuju lautan lepas dengan kapal karam di sisi timur. Apakah hatiku dan jiwaku akan karam juga seperti kapal itu? mungkin.
Aku berjalan semakin ke pinggir menyentuh bibir air. Air laut menggelitik kakiku, ia berkata "cepatlah bermain dengan kami, kau tak akan pernah merasa sedih."
"Aku tidak sedih, aku hanya ingin berada di bibir kalian. Aku tidak ingin menikmati dada,punggung, ataupun kaki kalian, terlebih perut kalian." jawabku singkat.
"berarti aku bukan orang yang pemberani. katanya kau ingin melepaskan penat yang ada dalam jiwamu, mengapa tidak mau?"
"aku ingin sekali berlayar, namun aku takut kalian akan menghinaku kemudian menelanku. matilah aku."
*
Cicit burung camar mendekat di telinga. 

Minggu, 11 Januari 2015

Aku sedang menangis ayah

Aku sedang menangis ayah, rindu akan ceritamu tentang makna hidup. Aku kesepian, sendirian tanpa ada orang yang menyapaku. Hidupku seperti daun yang sudah kering. Rapuh ketika diinjak dan terbang ketika ditiup, serta menjadi sampah bagi orang sekitarku ketika aku disapu dari kampung ini. 

 

Aku terlunta terbawa oleh arus yang menyiksa. Aku kacau, aku hidup tanpa sebuah harapan untuk hidup. Nasib dan takdir adalah dua hal yang aku impikan dan aku nanti. Aku yakin, ayah bahagia tanpa bias kelam ketika ayah meninggalkanku.

 

Kehidupanku sangat sepi. Dipenghujung tahun dan dibuka kembali awal tahun dengan kebosanan. Adakah yang menurut ayah orang untuk menemaniku di kala siang ataupun malam. Apa ayah, ada? Tak salahkah engkau berucap. Selama ini aku sendiri, menari di atas perihnya ujian demi ujian hidupku. Aku sendiri, orang acuh kepadaku. Bagaimana ada orang yang mau menemaniku jika aku terus merasa kesendirian sudah mendasar pada hidupku.

 

Ayah, datangkah ia untuk menghibur? Tidak kata ayah? atau datangnya ia hanya untuk menemaniku diam membisu. Kalau begitu, aku akan tetap sendiri. Perih sekali hati ini ayah ketika aku memang harus hidup dengan kesendirian, bersama hujan, matahari dan udara yang kumal.

 

Minggu, 04 Januari 2015

Belum Terlambat Untuk Berkunjung; Kalibiru Kulon Progo

Salah satu panorama di Yogyakarta yang tidak ketinggalan yaitu Kalibiru. Meski objek wisata ini sudah terkenal sejak dua tahun lalu, namun belum ketinggalan ketika kamu datang pada tahun 2015 ini, karena tempat ini masih menjadi andalan orang-orang untuk berlibur. Panorama alam yang disuguhkan memberikan semilir angin di hati yang galau, yang tidak galau juga sangat boleh ke sini. Sekedar untuk mencicipi alam di ketinggian yang lumayan, hehe.

Jalan untuk menempuhnya pun tidak sangatlah susah, tinggal menempuh jalan jogja wates dan ikuti papan petunjuk arah waduk sermo. Oh ya, Kalibiru ini terdapat di atas waduk sermo. Jadi, melalui puncak Kalibiru ini kalian dapat melihat dengan jelas keindahan waduk sermo dan alam persawahan yang terbentang sangat luas. Jangan ketinggalan pula untuk menikmati permainan seperti flying fox. Meski panjang flying fox ini terbilang hanya pendek, tapi jerat-jerit pekik suara yang mencoba tetap saja ganas :D

Jika sudah cukup untuk menikmati panorama waduk sermo melalui puncak Kalibiru, cobalah untuk turun ke waduk sermo dan ambil arah kiri, putari waduk sermo dan ada sebuah dermaga, tepatnya di barat jembatan utama waduk sermo. Di dermaga ini masih sepi, hanya ada beberapa orang saja untuk memancing.  Jadi dapat dibilang waduk sermo tidak hanya diandalkan untuk irigasi ataupun pembangkit listrik, tapi juga sumber kehidupan untuk orang-orang yang lapar, seperti ikan. Di pinggir-pinggir waduk ini juga terdapat daratan kecil yang menjorok, biasanya ditanami rumput untuk makanan ternak, dan paling banyak tanaman ilalang atau orang desa sebut "Kolonjono".

Berliburlah kemari, hanya dengan perjalanan satu setengah jam dari pusat kota Jogja dan dengan tiket masuk Rp. 5.000,- kalian mampu mendapatkan keindahan alam di puncak dan menikmati keindahan waduk.





Jumat, 02 Januari 2015

Sesuatu hal yang ingin aku rindui. Kebahagiaan tiada henti. Hingga aku mampu berdiri dan menari.
Semakin hari hadirmu sepi, tanpa bayangan senja yang biasanya menghiburku dikala hati sedang kalut dan resah
Kini kita sibuk masing-masing, memikirkan dunia yang tak henti membuat tangis
Tangis di bulan Desember, berwarna dengan hitam dan merah
Senyap, sendiri.

Kamis, 01 Januari 2015

Tsabit

Apa kabarmu kawan?
Genap rasanya satu setengah tahun kita sama meninggalkan bangunan tua itu, yang kita sebut sekolah menengah kejuruan. Kita keluar penuh dengan rasa yang masing-masing dari kita berbeda. Rasa senang karena kita usai menempuh bangku siswa, rasa sedih ketika kita mengingat memorabilia persahabatan kita. Ingatkah engkau kawan, pertama kali aku berjumpa denganmu? sungguh, itu hal yang konyol.
Kita digariskan menempuh kelas yang sama waktu itu. Dari awal kita masuk, hingga akhir kita beranjak kaki meninggalkan sekolah. Namun, rasanya aku baru sebentar mengenalmu. Engkau, Tsalitsa Nurul Hikmah, Icha panggilanmu, panggilan siang, dan Lisa panggilan malammu.
Apakah engkau sehat?
Di mana kamu sekarang, terakhir aku berjalan di samping tempat kau bekerja, bangunan itu sudah berganti nama. Apa kamu pindah? Tak pernah engkau beri aku secuil kabar kembali setelah lama aku sok sibuk dengan kebiasaanku sekarang. Apa kamu jadi ke Jakarta.
Kawan, aku tuliskan sebuah cerita di mana kita pernah bersama.
Ingatkah engkau ketika kita jalan bersama. Masih dengan pakaian batik yang kita kenakan saat hari jumat. Ketika sekolah usai dan sama-sama memiliki rasa malas untuk pulang. Kita berjalan dengan dua kaki yang bertapak pada bus kaleng susu besar. Pergi ke sebuah tempat, berjalan-jalan tanpa menghiraukan lirikan orang-orang tentang parasmu yang menawan. Kawan, sadarkah engkau. Ketika kita berjalan-jalan, semua mata memandang. Mereka ingin bersemayam sejenak, meski engkau belum tahu mana yang baik dan mana yang berlagak sombong.
Cha, aku susah tuiskan semua tentang kita. Tapi, satu patah kata untukmu.
Saat matahari bersinar, terbayang sebuah kenangan yang tak terlupakan. Kala itu, engkau sedang termangu memandangi kertas ujianmu. Di mana, kala itu, kau tertunduk lesu. Memikirkan masalah yang berjibun datang kepadamu. Engkau diam, namun tetes air mata itu berlinang. Mengalihkan pandangan kawan-kawan kepadamu dan seraya berkata, "kamu baik-baik saja kan?" Engkau menghindar dari kerusuhan kelas, Mencari tempat sendiri dan engkau masih menitikkan air mata. Kesedihan itu terpancar membulat memeluk ragamu yang seperti lidi padi. Engkau sudah dewasa, namun engkau belum banyak pengalaman untuk menginjak lantai dansa.
Dan saat engkau pulang, kau berjalan dengan buram. Pandanganmu kabur dan tertunduk kembali wajahmu. Mengecewakan mereka yang ingin melihat parasmu. Engkau masuk dalam kaleng susu besar yang bertuliskan jalur bus 15. Headset engkau cantelkan dan suara kau keraskan, sembari cokelat pada tanganmu habis kau makan. Perlahan-lahan hingga kau tertidur hampir satu jam.
Kau terbangun, matamu melalak ke jalanan. Kau tidak tersesat Icha. Rumahmu hampir sampai. Melintasi sebuah Pondok terbesar di Jogja, menuju rumah bernomor 212. Di depan rumah, kau lihat Bunda menunggu dengan senyuman sembari menggendong putri kecil, Bulan sabit di depan mata, penutup rasa sesal dan kecewa.

Kamis, 18 Desember 2014

pengantin senja

kaca ini bergerak tiga kali. terkapar karena hujan, terkikis karena tangis. hujan menangisi awan, awan memberikan malam. malam memberikan tangis.
hujan malam ini bukan satu pertanda aku harus menangis. cukup dengan terdiam tanpa hati harus teriris. hatiku masih sehat. setelah didoakan dalam sebuah ritual pernikahan, meskipun bukan pernikahanku. aku sendiri tak tahu kapan aku menikah, umur seperempat abad, ataupun tiga puluh tahun menjelang aku beruban.
hujan ini tangis dari malaikat. yang menitipkan sebuah sayap kepada sang naib. akad itu, bunga itu, bahkan sesaji itu, semua adalah pralambang prosesi sudah dilaksanakan. inilah pengantin yang ada dalam ode kasta rendah. pengantin sebutan sepasang burung dara yang duduk berdampingan dalam sebuah kapal bahtera.
melihat seperti halnya mendengar sebuah kebahagiaan ataupun hanya sebuah hal yang sangat mudah untuk dilaksanakan. aku melihat dalam kehidupanku, melihat sebuah irama hati yang masih ragu. aku masih muda. aku tidak tahu mana yang akan aku sandang untuk gelarku kelak, istri atau almarhumah. aku ingin semua aku sandang, sebagai seorang istri yang mulia untuk suamiku kelak, dan almarhumah untuk hidupku yang entah kapan aku akan menyelesaikannya.

Kamis, 04 Desember 2014

dunia ini hanya tawa tuhan

hati berdesir begitu pelan,
air mata terkikis sangat enggan,
Tuhan, apakah ini jawaban
aku hanya rindu
 dan mendapat sebuah pelukan
Jika suatu saat nanti aku sudah terbaring,
aku ingin sekali esok terbaring
dalam balutan selimut yang tebal dan nafas tersenggal
aku tak tahu lagi arti hidup
semua fana, semua hanya klise
untuk menutupi kejanggalan tak terduga
apa arti air mata ini
hanya sekedar banjir air di atas pipi
hati nurani sudah tersenggol oleh tepian besi
dan kulit sudah kaku dalam kotak biru
hidup bukanlah sesuatu yang abadi
aku terkikis dalamdalam